KATA
PENGANTAR
Sejak era
perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mengikatkan diri kepada
demokrasi sebagai alternatif bagi bentuk dan pemerintahan otoritarianisme. Di
awal revolusi kemerdekaan, tekad itu dituangkan ke dalam konstitusi sebagai blue print negara Indonesia merdeka. Di
dalam konstitusi alternatif yang ditetapkan di pertengahan dan akhir revolusi
pun komitmen demokrasi itupun dipertahankan. Begitu pula didalam konstitusi
yang gagal ditetapkan oleh Dewan Konstituante hasil pemilu 1955. Dan bahkan di
dalam konstitusi yang diamandemen di era reformasi inipun demokrasi dirumuskan
secara lebih rinci.
Runtuhnya rezim
militer Soeharto tidaklah dengan sendirinya membuka jalan bagi demokratisasi
dan dinikmatinya kebebasan setiap orang tanpa diganggu atau dipatahkan. Kendati
beberapa tahun lalu tersedia ruang yang lebih besar bagi kebebasan berpendapat,
berkumpul dan berserikat yang disusul dengan terbukanya kebebasan pers,
pembebasan tahanan politik serta pemilihan umum yang demokratis, tetapi
beberapa kebebasan inilah barulah syarat perlu belum menjadi syarat yang cukup
bagi kemajuan dan perlindungan hak-hak manusia yang menyeluruh. Tidak ada jaminan
bahwa kebebasan itu dilindungi dengan penuh dan otoriterisme negara tak akan
kembali.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penelusuran
historis dan pentakrifan (pemberitahuan) paham HAM itu harus dimulai dengan
memfokuskan penelahan terhadap suatu periodesasi awal sejarah perkembangan HAM
itu sendiri. Kajian ini berguna untuk membantu kita agar memverifikasi, dan mentataurutkan
keseluruhan silsilahnya, guna mempermudah pentransmisiannya agar tidak
mengalami penceceran dalam proses pengejewantahnya, dari satu konteks pemahaman
periodik ke sistematika pemahaman komperhensif yang utuh tentang pengakuan HAM sebagai ideology universal
(total) bukanya yang particular. Ide ini merupakan parameter untuk mengukur
derajat perkembangannya pemahaman dan pemenuhan HAM itu bersesuaian dengan
dimensi perubahan zaman. Ini salah stau fakta mendasar dalam kehidupan manusia
dan harus di kaji, dan dipertahankan terus-menerus dalam pikiran kita.
Sebagai
sejarah dunia, ia merupakan risalah kompleksitas dari proses perjalanan akan
kesadaran diri dan kebebasan manusia untuk memperjuangkan jatri diri dan pemenuhan kemartabatannya. Pada periode
1215 kekuatan bangsawan berhasil mendesak raja-raja di inggris untuk segera
memberikan Magma Charta Libertatum sebagai wujud realisasi berbagai
tuntutan-tuntutan rakyat. Kekuatatan kolektif kaum bangsawan ini di pedomani oleh volume dan dinamika
konflik yang berkepanjangan yang terjadi pada level aristokrasi berhadapan
dengan kalangan feodalis (para raja) hampir selama empat puluh kemudian
bermuara pada penandatanganan dokumen ini di dekat istana Windsor. Peristiwa
ini memiliki nilai historis yang sangat menumental dalam “sejarah dunia” umat
manusia. Di balik ini termasuk pengakuan paham hitoris HAM, karana ia memiliki
postulat pokok dan merupakan dokumen pertama Hak Asasi Manusia yang relative
konstruktif, tertata dan pada prinsip-prinsipnya menghargai sekaligus
melindungi hak-hak individu.
Dalam
paham HAM bahwa hak itu tidak dapat dihapus atau dinyatakan hilang dan tidak belaku oleh negara. Negara dapat
saja mengakui hak asasi itu, sehingga
hak asasi itu tidak dapat dituntut di depan hakim. Dalam perkembangannya, paham
ini menyatu dengan satu tesis filosofis john locke dalam toleransi religius,
yang berp0edoman bahwa semua manusia diciptakan sama dan memiliki hak-hak
alamiah (natural right) yang tidak dapat dipisahkan, diantaranya adalah
hakatas hidup, hak kemerdekaan dan milik, dan juga untuk mengusahakan
kabahagiaan. Hahk-hak ini tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia
sebagai manusia dalam kehidupannya. Tetapi, dan justru itulah, yang menentukan
bahwa hak-hak tetapa dimiliki dan melekat dalam diri manusia. Suatu negara yang
tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, menunjukkan bahwa
martabat manusia belum diakui secara sepenuhnya dalam negara itu. Inilah
prinsip dasar pemahaman akan hak asasi manusia. Melalui hak asasi itu, tuntutan
moral yang prapositif dapat direalisasikan dalam hukup positif. Melihat
silsilah dokumen politik HAM ini, dapatlah digambarkan bahwa teks-teks ini
bukanlah hanyadikodifikasikan pertama kali di inggris, bahkan juga dikodifikasi
juga pada deklarasi Amerika (1776-1789) dan deklarasi Prancis (1789), dengan
secara tegas mengumandangkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan
masyarakat. Dan ini dijadikan pedoman bagi setiap pernyataan tentang
pengagungan hak alamiah manusia itu. Bagi deklarasi-deklarasi ini, “manusia”
dapat dikatakan manusia bila ia telah
memenuhi kriteria pokok terhadap pengakuan hak-hak yang dimilikinya. Keutuhan
hak-hak alamiah itu melekat dalam diri manusia sebagai sati kesatuan yang utuh
dalam eksistensi dan kemartabatannya, sehinjgga ia tidak bisa diganggu oleh
suapa pun juga. Adapun hak-hak itu meliputi, hak asas kemerdekaan, kebebasan,
menikmati hak miliknya tanpa diganggu, itu ditindas oleh suatu pemerintahan
yang tiran dan mampu menyatakan oendapat
dengan bebas.
Kesimpulan
himpunan bibliografi dokumen-dokumen terpentingakan eksistansi hak-hak manusia
itu ; pertama, Magma Charta Libertatum (1215)
dan Bill Of Rights (1689), yang
membatasi kekuasaan raja di inggris, dan sekaligus merumuskan hak-hak warga negara. Substansinya
mengatur, bahwa tidak seorang pun dapat dimasukkan dalam penjara, dirampas hakj
miliknya atau di cabut kewarganegaraannya tanpa keputusan pengadilan atau hukum
negara ; kedua, The Virgina Bill Of
Rights (1776) tentang pemberontakan dan perlawanan rakyat Amerika utara
terhadap kolonialisme Inggris suatu dokumen mengenai kebebasan pribadi manusia
terhadap kekuasaan negara. Menusia berhak untuk menikmati hidup, kebebasan dan
kebahagiaan (life, liberty, the of
happiness). Deklarasi ini mengemukakan bahwa semua manusia harus mampu
untuk dengan bebas dan dapat menentukan
kebahagiaan dan juga keselamatan. Hal ini ditegaskan juga dalam
deklarasi Massacussets (1780) untuk menikmati hak-hak alami dan nikmat0nikmat
hidup mereka dalam ketentraman dan kedamaian. Deklarasi in lebih cenderung
mengkonstruksi model masyarakat, dan model masyarakat yang diproyeksikan
haruslah terdiri dari pribadi-pribadi yang bebas yang sama dengan lainya. Dan ketiga, Declaration des droit de I’homme et du citoyen (1789). Meskipun dokumen ini
sangat dipengaruhi oleh deklarasiu Amerika tadi, tetapiada perbedaan. Dokumen
Amerika bertolak dari pandangan bahwa para penguasa adalah manusia dan
karenanya dapat terbawa hawa nafsu kerananya harus hidup bebas : orang-orang
lahir dan tinggal bebas dan sama dihadapan hukum (les homes naissent et demeurent libres et egaux en droits). Hak-hak
adalah kebebasan, milik, keamanan, dan perjuangan melawan penjajahan (ces droits sont la liberte, la propriete, la
surete et Ia resistence a l’oppression), deklarasi Amerika dan derklarasi
Prancis denghan tegas mengumumkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat.
Keempat, deklarasi tentang hak-hak rakyat
yang berkarya dan diperas (1918). Deklarasi in berbeda dengan deklarasi lainnya karena yang disebutkan dalam hak-hak dasar hanya hak-hak dasar social,
sedangkan jarak-jarak pribadi tidak disebutkan. Intinya adalah bahwa manusia
berhak untuk hidup menurut martabatnya secara ekonomis. Suatu kehidupan
ekonomis yang menvukupi harus menjamin suat kehidupan yang bebas.
Pengakuan
hak asasi manusia secara global, dikumandangkan secara internasional setelah
berakhirnya perang dunia kedua. Dampak perang memang sangat dahsyat dengan
melibatkan kerusakan hampir sebagian masyarakat internasional, sebagai
korbanya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka penulis mencobamengkerucutkan permasalahan yang ada dalam
suatu rangkaian rumusan masalah, sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan hukuman mati sebagai upaya
penegakan supremasi hukum di indonesia
2.
Bagaimanakah benturan antara pelaksanaan Hukuman Mati dan HAM ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Hukuman Mati Sebagai Upaya Penegakan Supremasi Hukum Di Indonesia.
1.
Sejarah Hukuman
Mati Indonesia
Dalam sejarahnya pidana mati ini merupakan suatu jenis hukuman
(pidana) yang tidak diketahui sejak kapan mulai diberlakukannya, tetapi sejarah
mencatat bahwa jenis hukuman yang saat ini merupakan jenis hukuman yang
terberat dan tertua yang pernah ada,
bahkan menurut Codex Hammurabbi yang diperkirakan yang diperkirakan telah ada sekitar 2000 tahun sebelum masehi,
pidana mati ini telah digunakan’ pada orang yang telah melakukan kejahatan
tertentu, bahkan menurut Codex Hammurabbi tersebut dikatakan, “kalau ada
binatang pemeliharaan yang membunuh orang,
maka binatang berikut pemiliknya juga akan dibunuh juga.”
Begitu juga dengan yang ada dalam Pentateuch (kitab taurat Agama
Yahudi) yang ada jauh sebelum masehi, dinyatakan bahwa jenis pidana mati in
juga telah diatur, disahkan dan diperguanakan pada orang-orang tertentu yang
telah melakukan kejahatan pada masa itu,
seperti contohnya dengan melempari seorang anak yang durhaka sehingga mati oleh
orang-orang sekotanya (Deuteronomy / Ulangan 21:21)
Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya dijaman Romawi Kuno,
pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam bentuk
pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, disalibkan, ditenggelamkam,
digergaji, bahkan pada sekitar abad ke-4
disemua daerah jajahan Roimawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukkan
dengan cara yang sama yang telah diatur pada peraturan yang ada, sehingga ada yang sampai digantung
hidup-hidup dipinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan.
Seperti dijabarkan oleh seorang ahli sejarah ang menyatakan, “kita ketahui jalannya
acara-acara peradilan itu, hukuman itu adalah
di pancung kepalanya, dibuang kesalah satu pulau yang sangat jauh,
depekerjakan selaku budak, dibakar hidup-hidup ataupun diterkam binatang buas
didalam gelanggan arena ditonton oleh beribu-ribu orang.”
Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi
sati “alat” yang paling efisien dan dipandang paling kuat gereja maupun
raja-raja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk terus menerus
membuat rakyat tetap tunduk pada para menguasa yang ada. Contohnya adalah hukum
/ peraturan yang berkembang pada abd pertengahan, yaitu “criminal extra
ordinaria ini yang sangat adalah terkenal adalah criminal stellionatus, yang
letterlijk artinya : perbuatan jahat, durjana. Tetapi tidak ditentukan perbuatan berupa ap yang dimaksud disitu.
Sewaktu romawi kuno itu diterima (diresipeer) dieropa brat pada abad
pertengahan, maka pengertian tentang criminal extra ordinaria diterima pula
oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya criminal extra ordinaria ini
selalau diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara
sewenag-wenang, menurut kehendaknya dan kebutuhannya reaja itu sendiri”. Perbuatan
sewenang-wenangan penguasa inilah yamng lalu menjadi titik otak munculnya
pemikiran-pemikiran pembaharuan hukum pidana dan munculnya asas legalitas (abad
18) oleh para pemikir hukum seperti Montesquieu, J.J. Rousseau, von Feurbach,
dsb. Akan tetapi sekalipun asa legalitas tersebut kemudian diterima dan
dimasukan dalam perundangan yang ada (Code penal Perancis), tidak berarti
menghapuskan pidana mati itu sendiri, hanya saja membatasi penguasa dalamn
menerapkan pidana itu sendiri. Penjajahan perancis oleh Napoleon (1801)
kemudian membawa bukan saja pengaruh budaya, bahaya dan guncangan terhadap
perekonomian,tetapi juga sampai dengan pemahaman dan perkembangan hukum yang ada di negeri Belanda
(Nederlannd). Seperti dinyatakan bahwa “dari sini asas itu dikenal oleh
Nenderland karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v. Strafrecht Nederland 1881”.
Yang kemudian sejarah mencatat oleh kerena itu
penjajahan belanda di indonesia, secara perlahan-lahan hukum pidana
mulai diperlihatkan dan mulai menggeser kekuatan hukum adat yang telah ada dan
kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni ada saat Wetboek v. strafrecht itu
mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh) di indonesia pada tahun 1918, baik bagi golongan Bumiputera, timur
asing maupun golongan penduduk eropa, yang kemudian dikenal dengan nama Kitab
Undang-Undang Pidana (KUPH). Dalam KUPH inilah pidana mati (death penalty)
dicantumkan dan dan mendapat pengaturanya yang sah (legal act) bagi pemerintah
/ negara Indonesia hingga saat ini dalam melakukan pemidanaan terhadap orang
yang melakukan detik tertentu.
2.
Pelaksanaan
Hukuman Mati Di Indonesia
Sekalipun telah memiliki pengaturanya sediri dalam pasal 11 KUHP
yang menyatakan; hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan,
dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan dan mengikatkan jerat itu
pada tiang penggantungan dan menjatuhkan
papan tempat orang itu berdiri. Tetapi dalam prakteknya setelah tahun
1918 tersebut mengalami perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “pada
waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu peratuan pasal 11 KUHP dan satu
lagi praturan baru yang di undangkan olrh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati
dilaksanakan dengan tembak mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1 pada tanggal
2 maret dan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminal dari pemerintah
pendudukan Jepang). Kemudian setelah kesatuan
RI tercapai dimulai dengan proklamasi kemerdekaan indinesia, maka pidana
mati dilakukan kembali dengan cara
pidana gantung seperti yang ada dalam
pasal 11 KUHP. Pada tahun 1964, terjadi perubahan kembali dalam
pelaksanaan pidana mati ini melalui penetapan Presiden No.2 tahun 1964 ini juga
melalui lembaran negara tahun 1964 nomor
38, dirubah menjadi undang-undang No.2 tahun 1964. Melaui UU No.2 tahun 1964
diatur bahwa pelaksanaan pidana ini tidak lagi dengan cara digantung oleh
sorang algojo, melainkan dengan cara ditembak mati oleh suatu regu tembak,
pidana mati ini juga menurut ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka umum
kecuali ditetapkan lain oleh Presiden RI. Disini terlihat bahwa efek penjeraan
atau untuk mencoba membuat takut orang banyak agar suatu detik tidak dilakukan,
yang adalah tujuan dari pidana mati dilakukan didepan umum pada masa yang lalu
tidak lagi dijadikan alasan untuk mencapai tujuan pidana (mati), hal tyersebut terlihat kerana pidana
mati itu sendiri sekarang dilakukan tidak di tempat umum untuk dilihat oleh
khayalan ramai.
Sementara itu saat ini, pelaksanaan pidana mati di indonesia juga
diharapakan mendapat perubahan dalam pandangan para pakar, disini terlihat
bagaimana dalam rancangan KUHP yang masih dalam tahap penyusunan, dapat dilihat
disana bahwa pidana mati tersebut tidak lagi dimasukan memjadi pidana pokok
beriringan dengan pidana penjara dsb, melainkan talah mendapat tempat sebagai
pidana yang bersifat khusus, yang dalam hal ini dijadikan suatu ancaman pidana
sacara alternatife. (pasal 61 konsep KUHP 1999-2000). Jadi disini dapat disimpulkan
bahwa pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih
diperlukan dan dapat diterapakan, akan tetapi pelaksanaannya diharapkan
hanyalah sebagai suatu alternatif yang bersifat khusu dan bukan lagi merupakan pidana pokok seperti
yang masih dianut hingga sekarang berdasakan KUHP lam (Wetboek van strafrecht).
Berikut adalah beberapa uraian yang dapat menjelaskan tentang bagaimana efektivitas pelaksanaan
hukuman kati di Indonesia :
1.
Karakter reformasi hukum positif indonesia masih belum menunjukkan sistem
peradian yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang bersih. Bobroknya
sistem peradilan bisa memperbesar
peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang slah. Kasus hukuman
mati sengkon dan karta pada tahun 1980 lalu di indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum
sebagai institusi buatan manusia tentu tidak selalu benar dan selalu bisa
salah.
2.
Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembukyian limiah hukuman mati
akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal
menjadi faktor determinan untuk
menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainya. Kajian
PBB tentang hubungan hukuman mati (capital
punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2000 berujung pada kesimpulan
hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan
dan hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan
narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh
ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainya seperti kemiskinan
atau aparat hukum/negara yang korup. Ditahun 2005 misalnya ditemukan pebrik pil
ekstasi bersekala internasional di Cikande,Serang,Banten. Pabrik ini dianggap
sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga didunia dengan total produksi 100 kelogram
ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp. 100 milyar. Ternyata operasi ini
melibatkan dua perwira aparat kepolisian; komisaris MP Damanik dan Ajun
Komisaris Girsang. Maningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda
Metrojaya. Angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainya
(narkoba) tahun 2004 naik hingga 39.36 persen jika dengan dibandingkan dengan
kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 polda metrojaya telah menangani
4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1,338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba
tahun2003 yang hanya 3.441 kasus. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati
umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan dimasa
depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan redikalisme
an militansi para pelaku. Sampai ssat ini bahkan kejahatan terorisme masih
menjadi momok dan negara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan
ini. Terakhit bkali pada 1 Oktober 2005
lalu terjadi lagi kasus bom bunuh didri di Bali. Satu pernyatan pelaku kasus
pemboman di depan Kedubes Ausralia, Jakarta (9 september 2004). Iwan Dharmawan
alias Rois, ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada 13 November 2005:
“saya tidak kaget dengan vonis ini kerena saya sudah menyangka
sejak awal saya menjadi terdakwa. Saya menolak vonis ini kerena di jatuhkan
oleh pengadilan setan yang berdasrkan hukum setan, bukan hukum Alla. Kalaupun
saya du hukum mati, berarti saya mati syahid”.
Sikap
ini juga ditunjukan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak meminta
grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah dilakukan. Penerapan hukum
mati jelas tidak berefek positif untuk kejahatan terorisme
semacam ini.
3.
Praktek hukuman mati di indonesia selama ini masih bias kelas dan
disikriminasi, dimana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok
elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa diketegorikan sabagai kejahatan serius/luar biasa. Para
pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih
masih dan merugiakan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati. Padahal
janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa
seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM.
4.
Penerapan hukuman mati juga menunbjukkan wajib politik indonesia
yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati karena sesuai
dengan hukum positif indonesia. Pada hal semnjak era roformasi/transisi politik berlajan telah
terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih
melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga
menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen
Kedua)menyatakan :
“hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Sayangnya
masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan yang bartentangan dengan
semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11 perundang-undangan yang
masih mencantumkan hukuman mati.
5.
Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat
ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih
kepada pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menjalankan
hukuman mati kepada warga negara Indonesia, dengan alasan kemanusiaan. Namun
hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu
dan kasus-kasus lainnya baru-baru ini.
B.
Benturan Antara
Pelaksanaan Hukuman Mati Dan Hak Azasi Manusia.
Hak atas penghidupan instrumen tidak dijamin sebagai hak mutlak.
Misalnya, menurut Konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak bertentangan dengan
hak atas penghidupan, apabila pencabutan ini diakibatkan oleh tindakan tertentu
yang sudah ditetapkan. Dalam beberapa instrumen, larangan hukuman mati dimuat
dalam sebuah Protokol tersendiri. Konvenan internasional tentang Hak-Hak Sipil
Politik dan Konvensi Amerika keduanya membatasi hukuman mati pada “kejahatan
yang paling berat”, dikenakan pada suatu “keputusan final suatu pengadilan yang
berwenang” sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif. Kedua perjanjian
ini memberikan hak untuk mencari “pengampunan atau keringanan hukuman” dan
melarang pengenaan hukuman mati pada orang dibawah usia delapan belas tahun
pada saat melakukan kejahatan, dan melarang eksekusinya pada wanita hamil.
Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan,
sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena keputusannya
ditetapkan oleh undang-undang.
Ada beberapa uraian yang menjelaskan benturan antara pelaksanaan
hukuman mati dan hak asasi manusia, antara lain :
1.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam atau Penghukuman
yang Kejam, Tidak Manusia dan Merendahkan Martabat Manusia/Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment, diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 39/46
tertanggal 10 Desember 1984. Interpretasi ini didasari pada argumen bahwa
seorang terpidana mati yang sedang menghadapi eksekusi akan mengalami tekanan
mental/psikis yang luar biasa yang menjadi cakupan Konvensi Anti Penyiksaan
ini.
2.
Ketentuan ini juga sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak/Convension on the Rights of the Child,
Pasal 37 (a) yang menyatakan “Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran
penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusia atau hukuman yang
menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan
pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun.”
3.
Komite HAM juga melarang penggunaa hukuman mati sebagai suatu
hukuman wajib/mandatory punishment.
4.
Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European Convention of Human
Rights/Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms pada pasal 2-nya menegaskan larangan hukuman mati. Konvensi
regional Eropa ini merupakan treaty HAM
tertua dan ide penghapusan hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan
hukuman mati kemudian juga dihapuskan di berbagai mekanisme pengadilan HAM
internasional meskipun juridiksinya mengcakup kejahatan paling berat dan serius
di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas
Yugoslavia (Statute of Internasional
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statute of Internasional Criminal Tribunal
for Rwanda/ICTR)
5.
Pada 11 desember tahun 1977 Deklarasi Stokholm, Amnesti
Internasional telah menyerukan penghapusan pidana mati diseluruh dunia.
Terhukum mengetahui bahwa “his death will
be in a ritualized killing by other people, symbolyzing his ultimate rejection
by the members of his community” (Jonathan Glover). Dan hal itu merupakan
suatu ”additional horror” bagi
terhukum. Karena itu, bagi banyak orang pada saat sekarang, hukuman mati itu
dirasakan sebagai “a horrible business of
a long premeditated killing”.
Sebaliknya dalam menetapkan pidana mati ini terdapat juga golongan kedua
yaitu mereka yang setuju (pro) mengenai pelaksanakannya pidana mati tersebut.
Seorang bernama Greg. L. Bahnsen dalam bukunya menjelaskan alasan mengapa ia
setuju dengan pidana mati ini tetap diterapkan, yang menurutnya “kita harus
mengerti kententuan dari hukuman mati atas dasar bahwa suatu hukuman yang
bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan yang dibenarkan dimata Allah.”
Begitu juga dengan David
Anderson, seorang pakar yang berasal dari kalangan Kristiani, yang sangat
setuju (pro) dengan pidana mati pernah menulis bahwa “in order to rightly value
the death penalty it is necessary to have emphaty and understanding for all the
victims and their relatives.” Sangat tepat bahwa pidana mati justru menujukan
rasa simpati teradap korban-korban kejahatan berat, mengapa kita harus
mendahulukan dan mengutamakan hak asasi para criminal, ketimbang hak asasi
korban-korban kejahatan itu sendiri? Menurutnya sampai kapanpun pidana mati ini
tetap diperlukan terhadap pelaku-pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan
berencana yang dilakukan secara medis, pembunuhan massal, koruptor kelas kakap
dan teroris. Hanya saja menurutnya eksekusi pidana mati itu yang perlu
dirivisi, sehingga mengurangi mengurangi rasa sakit pidana, misalnya dengan
menggunakan suntikan yang tidak menyakitkan.
Alasannya lain juga
dikemukakan oleh pakar lainnya yaitu Ririn di Swedia yang menjelaskan bahwa
pidana mati perlu dipertahankan dengan alasan sepanjang hukuman mati tersebut
merupakan senjata efektif untuk terpidana dan untuk masyarakat. Dilaksanakannya
sepanjang tidak digunakan untuk memberantas lawan politiknya dan dilakukan
dengan manusiawi, serta melalui proses peradilan yang adil dan jujur.
Begitu juga dengan Bichon
van Ysselmode yang menyatakan “Saya masih berkeyakinan, banhwa ancaman dan
pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat yang
teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat
ditiadakannya. Keduanya Jure divino humano. Pedang pidana, seperti juga pedang
harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja.
Tetapi haruslah dipertahankan dan juga digunakan.”
Didalam hukum Islam hampir
tidak diketemukan pro-kontra pidana mati, oleh karena di dalam Islam
dikenal Talio, yang berarti membuat sebanding dengan perbuatannya terhadap
orang lain, sehingga disini sama dengan apa yang dianut dengan agama Yahudi
dalam kitab Pentatuech mereka yang menyatakan bahwa mata balas mata, gigi ganti
gigi. Bahkan didalam Islam diwajibkan qishash, yang dalam surat Al Baqarah ayat
178 dinyatakan “Hai orang-orang yang beriman : sesungguhynya diwajibkan kamu
qishash untuk soal pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan
budak, wanita dengan wanita, tetapi kalau seorang kamu dimaafkan oleh sanak
saudaranya hendaklah kamu membalas kebaikan mereka itu, karena itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan Yang Maha Pengasih.”
Sulaeman Rasjid menyebutkan syarat-syarat dapat dijatuhkannya
pidana mati sebagai berikut ; Keadaan yang membunuh sudah baliq dan berakal.
Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh. Keadaan yang dibunuh tidak kurang
juga derajatnya dari yang membunuh. Yang dimaksud dengan derajat disini ialah
agama dan merdeka atau tidak, begitu juga dengan anak dengan bapak. Maka oleh
karenanya orang Islam yang membunuh orang orang kafir tidak berlaku
terhadapnya. Keadaan yang terbunuh, orang yang terpelihara darahnya dengan
Islam atau dengan perjanjian.
Dalam perkembangannya para pakar dari kalangan agama Islam juga
memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda tentang pidana mati tersebut,
contohnya Malik yang setuju untuk menerapkan pidana mati tersebut terhadap
orang yang melakukan tindakan pembunuhan yang tidak disengaja, sementara yang
lain seperti Abu Hanifah dan As-Syafii hanya setuju tetapi dengan syarat bahwa
perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang. Begitu juga menurut Juynboll,
“pidana mati hanya dipergunakan terhadap pembunuhan yang disengaja dan membunuh
dengan senjata dalam keadaan normal dan yang melakukan kejahatan itu cukup umur
dan waras.”
Bambang Poernomo menyatakan bahwa “Pidana mati yang dilakukan
menurut ketentuan-ketentuan Islam yang “benar” adalah tidak bertentangan dengan
falsafah Negara, tidak berlawanan pula dengan unsur-unsur Ketuhanan YME, karena
syari’at Islam merupakan syari’at yang berdasarkan Ketuhana YME.”
Kemudian dalam pandangan penulis (jika seandainya pro pidana mati)
akan menyatakan setuju masih diatur dan diterapkannya pidana mati tersebut
dalam KUHP, dengan memandang dari sisi pendegahannya (general deterent).
Menurut penulis berhubungan dengan efek pencegahan ini, ancaman pidana mati
terhadap delik tertentu akan membawa secara langsung tak langsung jiwa
(pikiran, perasaan dan kehendak) seseorang “ditekan” untuk tidak melakukan
bahkan berusaha menjauhkan diri untuk melakukan delik yang diancam pidana mati
tersebut dan dengan demikian akan berhasil membuat suatu efek pencegahan pada
masyarakat luas terhadap delik-delik tertentu.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pidana
mati merupakan jenis pidana yang dijatuhkan oleh pemerintahan suatu Negara
(kerajaan) yang dianggap merupakan pidana terberat dan tertua dilihat dari
sejarahnya. Dalam perkembangannya pidana mati ini sering diselewengkan oleh
penguasa yang ada sebagai suatu senjata yang ampuh dalam menyingkirkan
lawan-lawan politiknya dan juga sebagai sarana yang paling sering digunakan
untuk mempertegas kedudukannya sebagai penguasa dihadapan masyarakat luas.
Dalam
bentuknya pidana mati ini juga merupakan suatu jenis pidana yang paling banyak
memiliki variasi dalam pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, di
salibkan, ditenggelamkan, di adu hingga mati dengan binatang buas dalam suatu
gelanggang arena, digergaji, ditarik oleh 4 kuda hingga mati terpotong-potong,
bahkan pada sekitar abad ke 4 sampai dengan cara digantung hidup-hidup di
pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan. Semua
bentuk-bentuk tersebut dilaksanakan dengan alasan dan tujuannya masing-masing
tetapi dengan hasil akhir yang sama yakni matinya seseorang. Berbagai bentuk
tidak manusiawi dan penerapan akhir yang seringkali dianggap merupakan
kesewenangan penguasa inilah yang membawa pro-kontra terhadap pidana mati ini
terus berlangsung hingga kini.
Sebagian
berpendapat agar pidana mati tersebut harus segera dihapuskan, tetapi sebagian
orang lainnya menyatakan bahwa pidana mati ini masih merupakan suatu jenis
pidana yang dibutuhkan hingga saat ini.
Dibutuhkan
hikmat serta pemikiran yang dalam dan objektif dalam mengkaji mengenai masih
diatur dan dilaksanakannya pidana mati tersebut dalam kehidupan bernegara. Dan
jika pelaksanaan pidana mati tersebut masih tetap harus dipertahankan, maka
harus juga dipikirkan dalam-dalam bagaimana pelaksanaan pidana mati itu
dilakukan sehingga dilakukan dengan cara yang paling tepat, manusiawi,
meringankan si terdakwa dan tidak berdampak negatif/buruk terhadap pandangan
masyarakat luas.
B.
Saran
Menurut
penulis, bukanlah antara pro kotra tentang hukuman mati yang harus
diperdebatkan, tetapi yang harus dilakukan adalah penegakan Pasa 7 dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin atas hak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi di depan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi
Emilianus, MENGGUGAT NEGARA: Rasionalitas
Demokrasi, Ham dan Kebebasan, PBHI, Jakarta 2005.
Etika Politik Dalam Konteks Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Fakih
Mansour, Bebas Dari Neoliberalisme, Insist
Yogyakarta, 2003.
Gaffar
Afan, Politik Pembangunan Hukum Nasional,
UII Press, Yogyakarta, 1992.
Harahap
Krisna, pasang Surut Kemerdekaan Pers di
Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001.
Mahfud,
Moh, MD. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 2001.
Moerdiono,
M Soemantri Sri, dkk, Politik Pengembangan
Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992.
Naning
Mardiniah, dkk, Memperkuat Posisi Politik
Rakyat, Cesda-LP3ES, Jakarta, 2004.
Tanuredjo,
Budiman, Pasung Kebebasan, Menelisik
kelahiran UU Unjuk Ras, Elsam, Jakarta, 1999.
Wingjosoebroto,
Soetandyo, HUKUM, Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya, Elsam, Huma, Jakarta, 2002.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung, semoga bermanfaat, pengujung cerdas pasti meninggalkan jejaknya.